Ketika Hati dan Otak tidak "YES"

Bicara tentang pasangan hidup (cailahhh bahasan-nya berat ini), pasti semua orang punya idealisme masing-masing tentang calon pendamping hidupnya. Dari mulai syarat fisik, attitude, dan agama.

Tapi dengan berbagai macam syarat yang mana setiap orang berbeda-beda itu, saya mengelompokkannya kedalam 3 poin besar :

  • Kenyamanan
  • Ketika hati bilang YA
  • Ketika otak bilang YA
Diumur saya yang waktu itu 22 tahun, setelah putus dengan pacar saya si "kekuatan cinta nyicil mobil" (6 tahun jadian. udah kaya nyicil mobil aja kan? giliran mobil udah lunas, eh mobil segala pake ilang ha ha ha ), saya dekat dengan seorang lelaki yang seumuran. Beliau bekerja di sebuah perusahaan x sebagai operational manager. Sebut saja "mas Bram"

Saya nggak ngerti waktu itu bisa dibilang pacaran atau tidak, tapi beliau menganggap saya mantannya. Lha tapi saya ndak pernah merasa ditembak sih. Apa buat sebagian orang dewasa, pacaran itu tidak seperti jaman sekolah yang harus dimulai dengan tembak-menembak ?! yakali yaaa... eh btw, kalo ternyata doi baca ini, plis jangan ge'er ya kamu, ini bukan tentang kamu lho, aseli.

Singkat cerita, mas Bram ini tiba-tiba ngajak nikah dan sudah sedemikian mengatur rencana dengan keluarganya untuk melamar. Saya yang ketika itu dikabari mas Bram hanya lewat telfon, kaget dan panik luar biasa. Karna belum kepikiran kearah sana sih ya mungkin, dan waktu itu saya menganggap kita hanya lagi PDKT yang baru kenal beberapa minggu (walaupun sudah kenal dan sering bertemu selama beberapa bulan terakhir).

Buat wanita seharusnya senang bukan ketika lelakinya punya niat serius ingin segera menikahi? tapi saat itu refleks saya langsung bilang "enggak". Bahkan sebelum mas Bram datang ke orang tua saya, saya sudah menolaknya.

Sempat beberapa menit berpikir dulu sih (hanya beberapa menit). Ketika itu, saya pun sempat bertanya kepada diri sendiri "kenapa juga ya gue gak mau. Kan salah satu cita-citaku adalah nikah muda. Dan si doi adalah lelaki mapan yang sudah punya pekerjaan bagus dengan posisi cemerlang dibanding teman seumurannya.

Beliau pun menjanjikan akan langsung booking perumahan di Bogor setelah menikah dengan saya (beliau tinggal di Jakarta), punya mobil, dan.... ah kalo ukuran mapan ya udah kumplit deh". Ya, itu semua adalah otak saya yang bicara, logika saya yang bekerja, mas Bram memang cocok sebagai pendamping hidup saya.

Tapi ada hal yang tidak saya temui, yaitu kenyamanan. Apa karna baru kenal beberapa minggu?. Ah harusnya tidak, malah seharusnya ketika kenyamanan itu ada, dalam hitungan hari pun akan bisa dirasakan. Ketika hati tidak mengatakan "yes", jangan putuskan memang sebaiknya... walau logikamu bilang "yes".

Maka saya membayangkan :
Saya tinggal dengan pria yang memberikan segala, tinggal berkecukupan,

  • tapi kehadirannya tidak begitu saya rindukan, 
  • tapi ketika bersamanya waktu malah terasa melambat,
  • dia bukan alasan saya untuk belajar memasak menu masakan baru
  • bukan dia orang pertama yang muncul dikepala yang ingin saya beritahu setiap ada hal penting yang terjadi dihidup saya.
  • waktu makan makanan enak, tidak ada perasaan "ingin dia juga merasakannya"
  • dia tidak bisa membuat saya "mengalah"
  • saya tidak merasa "pulang" ketika bersamanya
  • tidak ada perasaan "bersama dia, saya seperti punya kesabaran ekstra"
  • ...
  • ...
  • ...
  • dan.... dia tidak bisa membuat saya "berhenti mencari" !

Kini, saya sama sekali tidak menyesal dengan keputusan saya waktu dulu. Saya memilih mengejar untuk menemukan seseorang the right one sebut saja "Mr.Right" yang ketika saya ditanya mengapa saya mencintainya, saya tak punya jawaban pasti karena ketika sudah bertemu dengan satu hal "nyaman" maka itulah satu-satunya jawaban. Juga yang bisa membuat hati mengatakan yes, dan tentu saja yes secara otak.

"Mr right" itu sedang on the way :), semoga...

Comments

Most viewed posts

Cinta itu perhatian

Energi Positif Itu Menular

Pejuang Subuh (3) "Jangan Mau Kalah Sama Ayam"